Sekaten

Rencana mau ngambil cetakan undangan di Yogyakarta tanggal 7 Februari kemarin ternyata gagal, padahal berangkat dari kota Parakan sudah pagi-pagi sekali, sehabis sholat subuh, siap-siap dan berangkat, dan sepanjang jalan sesekali berhenti sejenak untuk memotret panorama kala matahari sedang terbit.

Sampai di kota Muntilan mampir sejenak di Monumen Bamburuncing, namun rencana untuk menanyakan lebih jauh tentang sejarah monument tersebut juga menemui jalan buntu, karena petugas yang disana tidak tahu menahu tentang sejarah tersebut, dan orang yang yang mengetahui sedang tidak berada ditempat, libur katanya.

Sesampai di Yogyakarta, langsung ke Percetakan untuk mengambil undangan pesanan, namun ternyata tempat tersebut tutup, lho ini kan hari kamis, kok tutup, setelah cek kalender ternyata tanggalnya merah!, ya…merah, hari libur nasional, hari Imlek / tahun baru cina, wah lupanya aku. Alhasil acara seharian ini diisi dengan jalan-jalan dan melihat-lihat pameran buku di Mandala Bhakti Wanitatama.

head-sekaten.jpg

Jum’at 8 Februari baru semuanya selesai, pesanan, titipan, belanja dan lain sebagainya. Rencana pulang sore hari tenyata harus ditunda, bukan karena hujan atau ada yang ketinggalan, namun sore itu di Alun-alun keraton Yogyakarta sedang dilakukan upacara pembukaan pasar malam sekaten. Wah ternyata ada hikmahnya juga kemarin tanggal merah, sehingga dapat menyaksikan langsung acara pembukaan sekaten tersebut yang dimulai pukul 17.00. Setelah selesai upacara, masyarakat sudah bisa masuk lokasi pasar malam yang ternyata sudah ramai sekali dengan beragam stand-stand pakaian, jajanan, aneka permainan dan pameran, dengan tidak menyiakan kesempatan untuk bisa menanyakan lebih jauh mengenai sejarah sekaten, kebetulan juga di arena pameran produksi daerah terdapat stand untuk penerangan sehingga bisa mendapatkan informasi lengkap mengenai asal usul sekaten.

head2sekaten.jpg

Matahari sudah mulai tenggelam diujung barat tanda hari mulai malam, tiba-tiba datang angin kencang disertai hujan yang langsung mengguyur kota Yogyakarta, kontan para pengunjung lari berhamburan mencari tempat yang teduh, tidak begitu lama Alun-alun yang tadinya begitu meriah dan ramai mendadak sepi, dan para pengunjung saling berdesak-desakan diantara stand-stand pameran sambil menggigil kedinginan, sambil matanya menerawang ke luar berharap hujan segera berhenti.

head3sekaten.jpg

Adzan Maghrib mulai berkumandang dari Masjid Agung Kauman, di sebelah barat Alun-alun, dan hujan pelan-pelan mulai berhenti, orang-orang disekitar tenda-tenda stand sudah mulai beranjak keluar dan menyebar, akupun segera bergegas menuju tempat parkir untuk segera meluncur ke rumah kakakku untuk sholat, mengangkut barang-barang bawaan dan akhirnya pulang ke kota Parakan tercinta.

Ada oleh-oleh yang bisa ditampilkan disini sebagai informasi mengenai Sekaten tahun ini, barangkali ada yang tertarik untuk berkunjung kesana melihat-lihat keramaian bersama keluarga, teman atau pacar, namun lebih dari itu kita akan menjadi lebih luas wawasannya apabila mengetahui apa maksud diadakan acara Sekaten, berikut informasi yang disampaikan oleh Badan Informasi Daerah Kota Yogyakarta 2008.

kover-sekaten1a.jpgkover-sekaten1b.jpgjadwal.jpg

PENDAHULUAN :

Melestarikan Upacara tradisional yang memiliki nilai sejarah dan kebudayaan dimana mencerminkan semangat dan nilai-nilai luhur bangsa, merupakan kegiatan yang diupayakan secara terus menerus diselenggarakan dalam rangka menegakkan dan memperkaya kebudayaan nasional serta menegakkan identitas dan integritas bangsa Indonesia.

Upacara tradisional Sekaten sebagai upacara tradisional keagamaan Islam, mengobarkan semangat perjuangan mengembangkan agama dan memiliki nilai­-nilai luhur dalam membentuk akhlak dan budi pekerti bangsa serta mempunyai alur sejarah yang jelas, telah menjadi salah satu upacara Tradisional resmi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan diselenggarakan setiap tahun dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Upacara tradisional keagamaan Sekaten di Yogyakarta diikuti oleh pesta rakyat tradisional yang cukup besar dan meriah. U n t u k  m e n e r t i b k a n  d a n mempertanggungjawabkan, maka Pemerintah Kota Yogyakarta atas ijin Sri Sultan Hamengku Buwono X menata dan mengelolanya sekaligus memanfaatkan sebagai salah satu media informasi dan komunikasi timbal batik antara Pemerintah dan masyarakat tentang upaya dan hasil pelaksanaan pembangunan nasional.

Pada tahun 2008 ini, yang menurut perhitungan kalender Jawa bersamaan dengan tahun Jimawal 1941, Kraton Yogyakarta sebagai penyelenggara upacara tradisional keagamaan Sekaten dan Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai penyelenggara Pasar Malam

SEJARAH SEKATEN :

Pada tahun 1939 Caka atau 1477 M, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintoro, dengan dukungan para Wali membangun Masjid Agung Demak sebagai tempat ibadah dan tempat bermusyawarah para wali.

Salah satu hasil musyawarah para wali dalam rangka meningkatkan syiar Islam, selama 7 (tujuh) hari menjelang peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, diadakan kegiatan syiar Islam secara terus menerus. Supaya menarik pengunjung, dibunyikan 2 (dua) perangkat gamelan ciptaan Sunan Giri, dengan membawa gendhing-gendhing tertentu ciptaan para wali,terutama Sunan Kalijaga.

Para pengunjung yang menyatakan ingin “ngrasuk” agama Islam setelah mengikuti kegiatan syiar agama Islam tersebut dituntun untuk mengucapkan 2 (dua) kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat itulah menjadi SEKATEN akibat perubahan pengucapan, sebagai ISTILAH yang menandai kegiatan syiar agama Islam yang dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari terus menerus menjelang sampai dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW mulai tanggal 5 sampai dengan 12 Maulud atau Robi’ul Awal setiap tahun.

Sekaten yang kemudian berkembang menjadi pesta rakyat tradisional terus diselenggarakan setiap tahun, seiring dengan tumbuhnya Kabupaten Demak Bintoro menjadi Kerajaan Islam, bahkan Sekaten

menjadi tradisi resmi. Demikian pula saat bergesernya Kerajaan Islam ke Mataram serta Kerajaan Islam Mataram terbagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sekaten sebagai Upacara tradisional keagamaan Islam masih terus di selenggarakan beserta pesta rakyat tradisional yang menyertainya.

Dari perkembangan penyelenggaraan Sekaten tahun demi tahun di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada pokoknya terdiri dari:

1. Dibunyikan dua perangkat gamelan, Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu, selama 7 hari berturut ­turut kecuali Kamis Malam sampai Jum’at Siang, di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Agung Yogyakarta.

2. Peringatan hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW, pada tanggal 11 Maulud malam, di Serambi Kagungan Dalem Masjid Agung, dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW oleh Abdi Dalem Sinuwun, para kerabat, pejabat dan rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat.

3. Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, berupa hajad Dalem Gunungan dalam Upacara Garebeg sebagai puncak acara Sekaten peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

 

KERAMAIAN SEKATEN :

Sekaten Tahun Jimawal 1941/ 2008 Masehi yang merupakan pesta rakyat tradisional dan dimanfaatkan sebagai media informasi dan komunikasi timbal balik ini, hakekatnya dapat dipilahkan menjadi 3 (tiga) keramaian sebagai berikut:

A. KERAMAIAN ADAT

1. Sekaten Sepisan

a.  Dibunyikan dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu untuk pertama kalinya, pada tanggal 5 Maulud Jimawal 1941/ 13 Maret 2008 Masehi di Kagungan Dalem Bangsal Ponconiti pada jam 19.30 WIB.

b.  Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan berupa Udhik-udhik oleh Gusti Bandara Pangeran utusan Dalem di Kagungan Dalem Bangsal Ponconiti padajam 20.00WIB.

c.  Diangkatnya     dua       perangkat

gamelan Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu menuju Kagungan Dalem Masjid Agung Yogyakarta, clikawal oleh Pasukan Abdi Dalem Prajurit melalui Siti Hinggil, Pagelaran, Alum-alun Utara sebelum Ringin Sengkeran

membelok ke barat menuju Masjid Agung, ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara, pada jam 22.00 WIB.

2. Sekaten

Dibunyikan dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu terus menerus secara bergantian selama 7 (tujuh) hari kecuali Kamis malam sampai Jum’at Siang, mulai tanggal 5 Maulud Jimawal 1941/ 13 Maret 2008 Masehi pada pukul 08.00-12.00 WIB, 14.00-17.00 WlB dan 20.00-24.00 WIB.

3. Malam Garebeg

a.  Pada tanggal 11 Maulud Jimawal 1941/ 19 Maret 2008 mulai jam 20.00 WIB. Upacara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, dengan diawali keberangkatan Ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan menuju Masjid Ageng yang didahului 4 pasukan Abdi Dalem Prajurit dan Abdi Dalem Sipat Bupati

b.  Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan berupa Udhik-udhik di Pagongan Selatan clan Utara dilanjutkan di dalam Masjid Ageng.

c.  Pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW oleh Abdi Dalem Penghulu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat di hadapan Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan, para kerabat, pejabat clan rakyat, bertempat di Serambi Masjid Ageng.

d.     Jengkar Dalem kembali ke Kraton Yogyakarta melalui Regol Masjid Ageng.

e.     Diangkatnya 2 perangkat gamelan Kyai Nogowilogo clan Kyai Guntur Madu kembali ke Kraton melalui Alun-alun Utara, Pagelaran, Siti Hinggil, Bangsal Ponconiti pada jam 23.00 WIB

4. Upacara Garebeg

a.   Pada tanggal 12 Maulud Jimawal 1941/ 20 Maret 2008 Masehi penyelenggaraan upacara Garebeg diawali dengan Defile Abdi Dalem Prajurit sebanyak 8 pasukan, mempersiapkan diri di Alun-alun Utara untuk memberi penghormatan kepada Hajad Dalem Gunungan.

b.   Diangkatnya Hajad Dalem Gunungan yang telah di persiapkan Bangsal Ponconiti menuju Masjid Ageng melalui Siti Hinggil, Pagelaran, Alun-alun Utara, sebelah Selatan Ringin Sengkeran ke barat menuju Masjid Ageng, pada saat melewati Jajaran Abdi Dalem Prajurit mendapat penghormatan dengan salvo tiga kali.

c.   Di halaman Kagungan Dalem Masjid Ageng, Hajad Dalem Gunungan dikabulkan dengan do’a oleh Abdi Dalem Penghulu Kraton Yogyakarta dan selanjutnya dibagikan kepada masyarakat.

B. KERAMAIAN PENUNJANG

Keramaian penunjang adalah keramaian rakyat tradisional yang menyertai Upacara tradisional keagamaan Islam, Sekaten. Beberapa bentuk keramaian penunjang antara lain:

1.     Para penjaja makanan tradisional seperti nasi gurih / wudhuk, telor merah, sirih dan lain-lain.

2.     Para penjaja mainan tradisional seperti gangsingan, pecut, gerabah dll.

3.     Kesenian rakyat tradisional seperti jathilan, ledek munyuk ( topeng monyet) dll.

C. KERAMAIAN PENDUKUNG

Keramaian pendukung yang diadakan clan clikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam rangka memanfaatkan Sekaten tentang upaya dan hasil pembangunan Nasional antara Pemerintah dan masyarakat. Beberapa bentukkeramaian pendukung antara lain:

1.   Pameran pembangunan yang diadakan oleh Pemerintah Daerah maupun Instansi Sektoral dan Vertikal.

2.      Pameran dan promosi sebagai upaya memasyarakatkan produksi dalam negeri dan meningkatkan barang ekspor non migas.

3.      Pameran kebudayaan seperti Pameran Kraton, Puro Pakualaman dll.

Keramaian pendukung lainnya seperti arena permainan anak-anak, rumah makan, cindera mata dll.

 

UPACARA MIYOS GONGSO

(Kamis Kliwon 5 Maulud Tahun Jimawal 1941/13 Maret 2008)

Upacara Miyos Gongso adalah merupakan prosesi ritual dikeluarkannya dua perangkat gamelan pusaka kagungan dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yaitu kagungan dalem gongso Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogo Wilogo dari Keraton Ngayogyakarta menuju Masjid Agung / Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, yang diawali dengan upacara Sebar Udhik­udhik.

Dua perangkat gamelan (Kagungan dalem gongso Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogo Wilogo) dikeluarkan dari gedhong gongso Sri Manganti menuju Bangsal Ponconiti (Keben). Kagungan dalem gongso Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di Pananggap sisi timur sedangkan Kanjeng Kyai Nogo Wilogo ditempatkan di Pananggap sisi barat.

Bertempat di Bangsal Ponconiti (Keben) sebelum gamelan dibunyikan, dilaksanakan penyerahan tanggung jawab keamanan kagungan dalem gongso dari Utusan Keraton yaitu Kawedanan Hageng Punokawan Kridhamardowo atas perintah Sri Sultan HB X kepada Utusan Pemerintah Kota Yogyakarta. Setelah penyerahan tanggung jawab tersebut, segera dua perangkat gamelan ditabuh atau dibunyikan secara terus menerus. Para penabuh gending adalah abdi dalem niyogo Kawedanan Hageng Punokawan Kridhamardowo. Lending pertama yang dibunyikan adalah gending Rambu Pelog Lima dan gending Rangkung Pelog Lima.

Sebelum dua perangkat gamelan dibawa menuju Masjid Agung dilaksanakan terlebih dahulu upacara Sebar Udhik-udhik oleh Ngarso Dalem Sri Sultan HB X atau utusan dalem (Ravi Dalem). Yaitu menyebar uang logam, bergs kuning dan bunga setaman kepada masyarakat maupun disekitar gamelan sebagai perlambang sedekah dalem untuk kemakmuran rakyatnya.

Untuk dibawa menuju Masjid Agung, dua perangkat gongso Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogo Wilogo diusung oleh Abdi Dalem Gladag (Konco Abang) yang dikawal penderek dua bregodo prajurit yaitu Prajurit Jogokaryo dan Prajurit Prawirotomo. Route yang dilalui adalah dari Bangsal Ponconiti (Keben) menaiki tangga Regol Brojonolo memasuki Siti Hinggil kemudian menuruni tangga menuju Pagelaran. Selanjutnya keluar melalui pintu gerbang Pagelaran menuju Alun-alun Utara, lewat jalan konblok ke utara hingga Ringin Kurung (Ringin Kurung sisi timur bernama Wijoyo Ndaru sedang Ringin Kurung sisi barat bernama Dewo Ndaru), kemudian belok ke barat menuju Masjid Agung/Gedhe

Setelah masuk halaman Masjid Agung Kauman Yogyakarta, dua perangkat gamelan akan dibunyikan terus menerus selama tujuh hari berturut-turut secara bergantian. Untuk kagungan dalem gongso Kanjeng Kyai Nogo Wilogo ditempatkan di Pagongan Utara.

UPACARA KONDUR GONGSO

(Rabu Legi 11 Maulud Tahun Jimawal / 19 Maret 2008)

Upacara Kondur Gongso adalah merupakan prosesi ritual kembalinya dua perangkat gamelan ( kagungan dalem gongso Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogo Wilogo ) dari pagongan halaman Masjid Agung menuju gedong gongso Sri Manganti Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Diawali Sebar udhik-udhik oleh Ngarso Dalem Sri Sultan HBXclan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW oleh para abdi dalem Penghulu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Prosesinya diawali 4 pasukan prajurit (bregada) yaitu prajurit Wirobrojo, Prawirotomo, Ketanggung clan Mantrijero nyadong Juojo (bendera) bertempat di Bangsal Sri Manganti kemudian berjalan lampah macak menuju Masjid Agung. Sesampai halaman Masjid Agung, prajurit Wirobrojo menuju pagongan utara dan prajurit Prawirotomo menuju pagongan selatan. Sedangkan prajurit Mantrijero dan Ketanggung berdiri berhadap-hadapan di halaman depan pintu Masjid Agung untuk menanti kedatangan Ngarso Dalem Sri Sultan HBX.

Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan HB X miyos (keluar) dari kagungan dalem Bangsal Proboyekso menuju Bangsal Ponconiti (Keben) diiringi oleh Kanjeng Gusti Pangeran Haryo dan Gusti Bendoro Pangeran Haryo untuk bersama­sama menuju Masjid Agung. Setibanya di pintu regol Masjid Agung, Ngarso Dalem Sri Sultan HB X clan rayi dalem disambut Bapak Walikota Yogyakarta dan Abdi Dalem Sipat

Bupati Reh Kaprajan Kota Yogyakarta. Setelah menuruni tangga regol / pintu masjid, Ngarso Dalem Sri Sultan HB X diberi penghormatan oleh prajurit Mantrijerodan Ketanggung.

Sebelum memasuki masjid, Ngarso Dalem Sri Sultan HB X melakukan Sebar Udhik-udhik berupa uang logam, beras kuning dan bunga di pagongan selatan dan pagonaan utara. Sebar Udhik-udhik ini menggambarkan kemurahan hati Baginda kepada rakyatnya. Setelah itu segera Ngarso Dalem memasuki Masjid Agung menuju tempat Pengimaman melakukan hal sama yaitu Sebar Udhik-udhik di dalam masjid.

Selanjutnya Ngarso Dalem keluar menuju serambi masjid untuk mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW. Ngarso Dalem duduk menghadap ke timur berhadapan dengan Abdi Dalem Pametakan (para ulama) terdiri dari Abdi Dalem Pangulon, Punokawan Kaji dan Ulama Masjid Suronatan yang membacakan riwayat nabi. Setelah selesai pembacaan riwayat nabi, Ngarso Dalem Sri Sultan HB X jengkar atau meninggalkan Masjid Agung untuk kondur ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

 

Untuk persiapan Kondur Gongso, Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo membawa ancak (tempat untuk gamelan) segera merakit dan menyusun menempatkan perangkat gamelan. Setelah semuanya siap, maka ke 4 pasukan prajurit (bregodo) mengiringi kondurnya dua perangkat gongso menuju gedong gongso Sri Manganti Kraton Ngayogyakarta.

~ oleh bamburuncing pada Februari 12, 2008.

4 Tanggapan to “Sekaten”

  1. Wah jadi Inget Ama KOTA JOGJA, sekaten ….suatu tradisi di KRATON JOGJA , sukses ya bambu runcing, buat webmaster maju terus keren banget beritanya

  2. walah jan jadi ingat nenek moyang. jane cocok dadi goeroe sejarah yakin kang Hans ki. gmana kalau kang hanz buat buku sejarah atau komik dari mataram sampai parakan gt lho. tp suisui mumet ki maca stanplat, kelingan pelajarane pak Jono mulang sejarah.. tp asik jg jadi tau wawasan buat cerita aak putu. kapan k jgj bareng nak da waktu selo. gen karo refreesing

    br : hehehe..ada-ada saja mas rojack ini, rencana bikin buku ttg sejarah temanggung sedang dalam proses, di stanpalat temanggung ini baru awalnya saja, nantinya tim yang di gawangi oleh mas Agung DH dan teman-teman akan mewujudkan buku tersebut, terimakasih ya dukungannya.
    Ok, deh kapan2 ke jogja bareng….biar tambah akrab, sambil menghilangkan setress, apa dibikin saja suasana temanggung biar seperti jogja, misalnya jalan2 ke candi pringapus gitu? lebih murah, dekat, dan mengawali diri sebagai wisatawan lokal. belum pernah ‘BERWISATA’ kesana kan? atau ke Dieng? bolehhh.

  3. Semoga inti dari Tradisi Sekaten tidak tergeser oleh kegiatan tambahannya .Maaf ya , kayaknya tahunnya salah tuh mas .
    Selisih tahun Saka/Caka dengan Masehi adalah 78
    jadi tahun 1477 M kalau dijadikan tahun Saka menjadi tahun 1399.
    OK , terus berjuang dan berkarya

  4. okey………………..

Tinggalkan komentar